Monday, January 21, 2008

WE ARE -CONTINOUSLY- TRAVELING ´VIRUS´ (Re-Thinking of Human)



WE ARE -CONTINOUSLY- TRAVELING ´VIRUS´ (Re-Thinking of Human)

Sebenarnya tulisan ini saya maksudkan sebagai -semacam- dialog dengan ´Happy Samurai´. Tapi waktu itu tidak langsung saya posting, karena saya lupa dimana file ini tersimpan...:-(

Dalam thread tersebut saya menemukan pertanyaan yang sebenarnya sederhana. Tetapi saya tertarik untuk mendriblenya menjadi sebuah perspektif, karena pertanyaan ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Sehingga judul thread ini saya buat sedemikian rupa seperti di atas: We are -Continously-Traveling ´Virus´ (Re-Thinking of ˝Human˝)

Pertanyaan itu adalah: Apa yang 'menggerakkan' sehingga tulisan itu bisa terbentuk?

http://tech.groups.yahoo.com/group/blogger_makassar/message/17644

:DHehehe, ikutka juga deh. Sy suka thread-Na :pMenulis, mmng hak semua kita. entah makna apa yang ada di dalamnya, kembali ke 'visi' atau 'paham' yang 'coba diikuti' oleh si penulis. tidak ada yang salah memang. Dari yang 'seenak gue' sampe yang mengikuti kaidah 'jurnalisme sejati' [Adakah?, saya juga tidak tahu bela :p]

Kumaniora: Nggak tau saya soal apa itu ´jurnalisme sejati´:-). Saya yang hobby memutar balik kata, cukup happy menyebut style yang saya labeli sebagai ˝JurnaLipstick˝... Hehehe...

Tapi, kalau kita kaitkan dengan kritikan sohib-sohib dari Panyingkul, atau katakanlah debat, diskusi, (whatever) antara ´keseblasan´ AM dan ´keseblasan´ Panyingkul, saya meyikapinya sebagai sebuah kegelisahan dari sohib-sohib Jurnalist yg melihat bagaimana aktifitas Blogging adalah fenomena yg sesungguhnya punya potensi besar untuk mengisi peran-peran sosial-kemasyarakatan, dan sekaligus menjadi media alternatif dari media mainstream yg ada.

Sejujurnya saya tidak tertarik dalam debat tersebut, mengingat hampir semua interest saya ingredientnya memang berupa racikan-racikan dalam wajan sosio-kultural, bahkan spiritual & psikologikal, dengan dimensi global-nasional-lokal. Baik melalui maling list maupun blog. Meskipun penyajian tulisannya tidak mengikuti kaidah jurnalipstik
... Eh, maksud saya, jurnalistik:)

Vocal point saya adalah sampai tidaknya pesan atau ide saya pada pembaca (yg tertarik, tentu saja) untuk mereka olah sendiri, tulis sendiri, tanpa harus menelannya mentah-mentah seperti layaknya sebuah dogma. Karena itu pula, saya tetap memilih untuk berada pada level state of art. Menyebar ´virus of mind´. Dan cukup senang dengan feed back yang saya terima dari sahabat-sahabat Pembaca.

Bukan pula saya mengatakan bahwa kaidah jurnalitik itu tidak perlu. Sebaliknya, hal itu sangat sangat perlu. Tapi oleh karena saya mengedepankan ´idea´ maka saya menggunakan metode ´cut and fill´ (istilah dalam landscaping dan land clearing) dalam menyikapi hal tersebut.

Adapun penggunaan term ´narsisme´ menjadi bumbu dalam suatu kritikan. Mau diapa lagi? Lha pada umumnya kita -saya juga termasuk- memang narsis? Apakah ada yang luput dari ´penyakit´ narsisme ini?

Jadi, kalaupun ada yang perlu kita tunjuk hidungnya gara-gara kebiasaan memvonis melalui term-term tertentu, cari saja darimana term tersebut diproduksi dan diperkenalkan kepada publik. Dan siapa-siapa, apa apa saja yg berperan dalam penyebaran term tersebut kepada khalayak. Terkhusus pada term ´narsisme´ maka ´hidung yg perlu ditunjuk´ adalah psikologi dan media mainstream.

Dengan demikian jika ada –siapapun- diluar dari psikologi dan media mainstream menggunakan term tersebut sebagai semacam vonis dalam rangka kritik, si Pengkritik tersebut, hanyalah ´victim´ akibat ter-memetized (katakanlah gitchu) oleh yg memproduksi dan menyebarkan, terminologi itu.

Demikianlah kita hidup dalam dunia persepsi yang kurang –atau tidak?- mampu membedakan antara kritik dan vonis.


Happy Samurai: Tapi [ini secara pribadi fren :D] saya selalu 'penasaran' dengan 'kandungan nilai' sebuah tulisan, atau apa yang 'menggerakkan' sehingga tulisan itu bisa terbentuk. Ndy bilang, menulislah sebab tanpa menulis takkan terbentuk sebentuk tulisan [ini konek-Na di mana?]

Kumaniora: Rasa penasaran akan sesuatu itu bagus, setidaknya sebagai ciri awal bahwa seseorang itu ´Born to Quest´ (ini pernah didiskusikan panjang lebar di milis Apakabar)
´Born to Quest´ adalah orang yang terlahir dengan karakter yg terus-menerus ´bertanya´ ini berkaitan dengan mental statenya.

Tena nia antu mae nikanayya ´out put´ (tak ada itu, apa yg disebut sebagai out put) Semua ´out put´ adalah tak lebih berupa ´proses´ belaka. (Oleh Hegel, dipetakan menjadi thesis-anti thesis-sintesis, lalu berputar lagi seterusnya.)

Out of Taufik: Dengan demikian, saya melihatnya bahwa Sociology, atau semua ilmu yg berbicara tentang manusia, adalah hal yang sesungguhnya ´abstrak´ sehingga tidak tepat atau keliru menempatkan term ´logy´ berdampingan dengan term ´socio´.
Ilmu-Ilmu Sosial –seperti sesungguhnya Filsafat dan Psikologi- sudah waktunya untuk masuk dalam fase ´Art´. Back to ´Mama´... :-)D

Kopitalisme, is the travel agent of your tour to the edge of the Sociology...

Bahkan, secara ´ekstrim´ beberapa waktu lalu saya mendefinisikan manusia adalah ´virus´. Tentu dapat saya mengerti, bagi yang memahami term ´virus´ hanya ke dalam makna dan konotasi ´negatif´ saja, mereka akan sangat mungkin melongo.
´Teori´ ini, juga termasuk menggelisahkan seorang sohib Psikolog, dengan mengatakan saya ´mengocok ulang´ yang mereka fahami apa itu ´manusia´. Namun sohib-sohib ˝sepadepokan˝ yang jumlahnya ribuan di milis tersebut, tidak atau belum punya argumen membantah bangunan teori bahwa manusia adalah ´the –continously- traveling virus´.

Setiap kita -siapapun itu- berusaha me-multiply –seperti- virus, menjangkitkan virus tersebut berbentuk ide (virus of mind) kedalam dan melalui berbagai bentuk metode. Metode yang saya maksud adalah, termasuk MENULIS!
Sebagai sebuah ´eksperiment´ mengenai ´Virus kata´ (lebih dari sekedar kata) atas term ´Kopitalisme´ bisa dilacak penyebarannya
di sini

Back to Taufik: Sementara ada pula yang terlahir dengan karakter yg sekedar mencari ´jawaban´. Dan ketika seseorang merasa telah mendapatkan ´jawaban´ orang tersebut lalu merasakan telah mendapatkan comfort zone-nya disitu, bercokol disitu, bertahan disitu, membentuk tempurung psikologisnya sedemikian rupa sehingga tidak merasa perlu -atau bahkan takut- bersentuhan dengan perubahan-perubahan, lingkungan baru, faham-faham yg berbeda dan perspektif-perspektif yang berlain-lainan. Dan ini berkaitan dengan ´paradigma´, beliefe system, faith, kultur, dst.

Penilaian-penilaian yang dibuatnya –atas lingkungan sekitar- selalu berdasarkan, groundingnya saja, profesinya saja, statusnya saja, paradigmanya saja. Berdasarkan feelings dan standards-nya saja.

Dengan kondisi mind & mental state demikian, tetap ada semacam ´desakan´ untuk ´menularkan´ kepada ´yang lain´ bahwa apa yang dianggapnya baik, itulah yang TER-baik: read me, hear me, listen to me, look at me, follow me. (Follow Me, menjadi brand yang digunakan sekelompok sohib-sohib muda di Kroasia sebagai metode informasi dan promosi tourism.)

Salah satu fakta dalam menggunakan pemahaman bahwa ´human is a –continously- traveling virus´ dapat dilihat dari fenomena bahwa manusia akan tetap ber-multiply. Baik pada level state of mind (ide, gagasan, dll) ajaran, isme-isme (baik berdasarkan faham religious maupun isme berdasarkan faham sekular) Dan ber-multiply hingga pada level fisik (beranak pinak, bergenerasi)

Nature dasar virus adalah multiply. Virus tak membutuhkan makanan, seperti species lainnya. Sehingga virus adalah satu-satunya species di bumi yg fungsinya hanyalah ber-multiply. Nah, jika rekan-rekan menjadi member ´Multiply dot com, ingatlah teori saya ini: Human is a –continously- traveling virus. There are some choices, tho: you can enjoy your selves or you can laughing to your selves. I am ´in´ at the both choices.

Bukan maksud saya memetakan bahwa manusia itu hanya terbagi dua karakter saja ( Born to Quest dan Born for the Answer(s) Ada yg mengulasnya ke fase Born to Pray.) Tapi maksud saya, adalah kita ambil dulu dua model karakteristik itu hanya contoh, sebagai pijakan menjawab tentang pertanyaan ´... apa yang 'menggerakkan' sehingga tulisan itu bisa terbentuk?´.

Dalam disiplin ilmu Biology ada term ´meme´. Yang jelas apa yang disebut ´meme´ ini, tak jauh dari formasi dan dimensi ´virus´.

Dimensi ´virus´ tak terbatas, dan juga melekat pada setiap ´kata´ yang kita baca, mempengaruhi cara kerja kedua hemisphere otak kita. Berperan membentuk pemaknaan, mempola persepsi pada kata itu. Prosesnya sesungguhnya dapat ditelusuri jika kita menggali masuk mendalami struktur DNA manusia. Namun dalam perspektif Kopitalistik, cukup saya menyebutnya sebagai KutuKata.

A. Born for the Answer (s):
Sebenarnya disini sangat luas, bisa ditarik ke ranah spiritual, psikologis, individual, sosiologis, dll. Disini saya langsung potong ranah educational. Karena, apa yg kita tulis dan apa yang kita baca, disitu terjadi proses lalu lintas informasi. Baik, informasi tersebut berasal dari ´tangan pertama´ (alam) maupun ´tangan kesekian´ (guru/dosen/wartawan/jurnalist/kyai/ustadz/biksu/pendeta dan berbagai profesi, dll.).

Sekarang saya bertanya, mengapa seorang yg mendalami pelajaran ilmu-ilmu Filsafat di Indonesia, TIDAK -ATAU BELUM- PUNYA teori sendiri menjawab ´Siapa Aku´?

Asumsi saya, seseorang yang membaca teori-teori milik seorang –yang oleh sejarah atau media- namanya besar, maka ´meme´ ini akan sangat efektif membentuk pola pemahaman si Pembacanya (lalu diajarkan dgn pola menghafal nama-nama besar tsb, melalui institusi-institusi Pendidikan formal) Dan dengan demikian, si Pembaca tersebut (dalam hal ini, pemilik tangan kesekian) telah -dengan mudah- merasa memiliki ´jawaban´.

Sederhananya, mereka membaca dalam rangka ´mencari jawaban´ yang TELAH disediakan oleh Pemilik-Pemilik teori sebelumnya (dari tangan-tangan kesekian) lintas generasi.
Sehingga hampir semua pertanyaan ´Siapa Aku´ -yang seyogianya tidak pernah terhenti- telah tersedia dengan cara mengutip dari berbagai sumber-sumber yang sudah ada. Bahkan terkadang, sumber tersebut, telah mati sejak ratusan tahun lalu.

Apakah ini masalah psikologis? Mind & mental state? Kultur? Belum –atau mungkin tidak perlu- ada penelitian ilmiah, untuk menjawabnya.

B. Born to Quest:
Pernah saya menulis demikian: Fenomena (Alam/Lingkungan/Sosial Kemasyarakatan) --> Interpretasi --> Etika -- > Hukum...

Mangkanya, ketika seseorang –melalui blognya sbg diarinya- menuliskan apapun itu sesuai dengan perspektifnya sendiri, maka tidak perlu kita membatasi –atau bahkan menilai berupa vonis- bahwa tulisan-tulisan tersebut hanyalah ber-narsis ria. Karena setiap orang punya interest tersendiri dalam melihat lingkungan sekitar lalu men-sharenya kepada yg memiliki interest yang sama –atau setidaknya- mirip.

Dan karena terbaca oleh khalayak, maka apapun yang ditulisnya tidak akan sia-sia. Sebab akan sangat mungkin diantara Pembaca tersebut kemudian memformulasi ulang berdasarkan background dari si Pembaca itu sendiri. Disinilah virus of mind, itu menular dan menyebar. Dan selanjutnya terformulasi -dalam Kopitalisme- dipetakan ke dalam tiga garis besar. Dari ´Kebenaran Kreatif´ selanjutnya, bermuara kepada ´Kebenaran Saintifik´ dan ´Kebenaran Religius´. Dan berputar/berulang lagi seterusnya.

Jadi, ´Kebenaran-Kebenaran Kreatif´ yakni, ide/gagasan (berdasarkan pembacaan fenomena langsung) kepada para Pemilik ´tangan-tangan kesekian´ (guru/dosen/wartawan/jurnaalist/kyai/ustadz/biksu/pendeta dan berbagai profesi, dll) melalui berbagai institusi dan simbol-simbol, untuk selanjutnya ter/disebarkan lagi dalam bentuk teori-teori, text-text, dll.

Mungkin mirip dengan kutipan berikut:

Saya sederhana saja, bagi saya tulisan yang baik adalah yang 'lahir dari hati'. sehingga konek-na langsung ke hati juga. Kentara-Ji itu. kalo ada penulis yang 'nulis pake hati' [ini konotasi nah, soale kalo nulis kan biasanya pake tangan :D] pasti akan mengalir mempengaruhi pikiran dan perasaan pembacanya.

Kumaniora: Pertanyaan selanjutnya -mungkin- adalah ´What kind of virus we are?´...


May FUN be with you




Visit, the most funky ´religion´ ever built... HOLE SPIRIT...!!!

Thursday, April 5, 2007

L O V E




Diantara semua blog, website, tulisanku, tak ada satupun yang mengangkat thema ´cinta´. Dalam blog ´Kumaniora´ (plesetan dan parodi dari kata ´Humaniora´) inilah saya khusus menempatkan thema-thema, yang paling laku untuk ´dijual´...:-) Dan diantara thema -dari beberapa thema- tersebut, adalah ´ljubav´, ´love´, ´cinta´! Hurraaa!

Satu-satunya yang mengangkat thema ´cinta´, adalah dua kutipan dalam situs ´SeksPeare´ yang menyatakan:

1. Love, Light, Peace is all about ´FEELINGS´ and ´STANDARDS´.
2. Life, Love, Laugh are the ´edges´ of science and civilization.

Mengapa saya tiba-tiba menulis topik ´cinta´ ini? Apakah selama ini saya tidak peduli, tidak tahu, tidak ambil pusing, atau tidak punya pengalaman? Hoo... Bukan, bukan itu.

Kebetulan tadi ketika sedang minum kopi pagi di sebuah cafe, diseputaran Vrbik, Zagreb, saya mendengarkan ´permintaan´ dari ´Foreigner´ dalam bentuk sebuah lagu berjudul ´I Want To Know What Love Is´. (Tanggapan si PatanYali, berwarna biru)

PatanYali : Halo, orang asing, apakabar? Kok murung sih?...
Orang Asing: Ada yang ingin saya tanyakan padamu wahai, The Great Traveler...
PatanYali: Katakanlah wahai orang asing... Itulah mengapa saya pergi berjalan sejauh ini, saya sendiri adalah ´orang asing´ dikampung halamanku sendiri. Jadi... mungkin saja kita bisa saling mengerti?...

Demikian katanya:

I gotta take a little time
A little time to think things over

Tafsir: Aku harus istirahat sedikit saja... Istirahat sejenak untuk berfikir bahwa segalanya telah usai...

Akh, ya...Sama. Saya juga ada disini untuk sejenak beristirahat, menikmati kota hijau, tenang, tanpa polusi dan kemacetan-kemacetan... Saya cemburu sebenarnya, cemburu pada siapa? dan kenapa? Saya cemburu pada diri saya sendiri, saya mendapatkan tempat berlabuh yang demikian tenang dan indah, hampir seluruh manusia di bumi pengen datang dengan merogoh kocek dalam-dalam... Liat tuh, Tom Cruise, Richard Gere, dan banyak lagi nama tenar yang tak kuhafal satu-satu, semuanya pada ke sini tahun lalu... Sedangkan saya ada disini, menikmati suasana yang pernah saya envision bertahun-tahun lalu, tinggal di atas bukit yang hijau dan segar, diselingi kicau burung sambil minum kopi diberanda dengan pemandangan perbukitan yang asri!...

Jika ´surga´ itu terletak di bumi ini, maka lokasinya -minimal site plannya- terletak di antara Barat dan Timur, antara Selatan dan Utara... Maka, lihatlah peta! ... Disanalah aku!

Disini, tak ada carut marut yang kulihat, semuanya apa adanya... Tak kulihat anak-anak kecil peminta-minta diperapatan jalan mengais-ngais hidup dibelantara hutan mesin dan asap seperti di negriku... Disini, sejenak saya ngaso dan berfikir bahwa segalanya (carut-marut itu) telah usai...


I better read between the lines... In case I need it when I'm older

Tafsir: Aku sebaiknya membaca diantara garis (kata-kata)... Siapa tahu aku butuhkan kala kelak aku sudah tua, nanti.

Oh yah...´kata-kata´ itu, ´teori-teori´ itu, ´petuah-petuah´ itu? Saya fahami kalau Anda lelah dan bosan membacanya baris-perbaris, mendengarkannya berulang-ulang dan berputar-putar... Saya APALAGI?..Hahaha...

Sekali-kali, wahai orang asing, jalan-jalanlah ke Negriku, kalau Anda rasa terlalu jauh, lewatlah sekedar mampir di milis-milis, semua itu masih terus terputar-putar, berulang-ulang... Saya setuju bahwa ´membaca´ tak harus dengan ´mengeja´, huruf demi huruf, kata demi kata, setiap petuah-petuah dan teori-teori yang itu-itu saja... Tahukah kamu, telah pernah kusinggung, bahwa setiap kita sebenarnya punya kekuatan untuk membangun sendiri ´pegangan´ dan ´titian´ itu, bahkan dengan cara... FUN?

Hahaha... Tak usah takut jika tua kelak, kamu tak punya bekal meskipun tidak pernah atau tidak mau membaca dan mendengarkan segala macam ´kata-kata´, ´petuah-petuah´ dan ´teori´ itu... Sayalah si KutuKata, yang bisa membolak-balik segala macam kata-kata itu... Lihat aja nama blog (Kumaniora) ini, itu salah satu kerjaanku sebagai The Virus of Mind, KutuKata! Janganlah takut, untuk menjadi tua, karena menjadi tuapun harus punya ´alasan´... Anda takkan ´tua´ kalau Anda tak mau. The real age is not the numbers! Jangalah seperti para ´filsuf´ di Negriku yang kerjanya mengulang-ulang teori-teori usang, untuk saling mengelus rasa dan bertukar kata...

Now this mountain I must climb
Feels like a world upon my shoulders

Tafsir: Sekarang, gunung ini yang harus kudaki... Rasanya, dunia ini ada dipundakku...

Wah, hobby naik gunung juga Anda rupanya? Sekali lagi kita punya persamaan bung! Di Negriku, demikian banyak gunung-gunung yang indah telah aku daki, ada Bawakaraeng, Latimojong, Bromo, Rinjani, Kelimutu, Kawah Ijen, Sljeme, Mrki Medjved di Croatia, Rocky Mountain di Canada!... Semua telah aku panjat, bung!

Tadi pagi, sambil minum kopi aku malah menyanyikan ´Arjuna Mencari Cinta´ karya penyanyi Dewa, pada istriku... ˝Sudaaah kudaki gunung tertinggi...hanya untuk mencari di mana dirimu...˝... Kalau dalam lagu itu hanya berupa lirik kata-kata, maka saya -
PatanYali-mengalaminya dalam hidup ini. Makanya saya selalu bilang ˝My Life Is -Simply- Sounds Like A Melody˝... Maka, untuk apa aku butuh kata-kata dan teori-teori lagi? Aku hidup dalam ´melody´ bung! Bahkan dalam melody dan lirik lagumu pun aku ´hadir´ bukan?...

Membicarakan ´beban dipundak kita´, seakan ´memikul dunia´?... Point of views saya, wahai orang asing, do it in FUN way... Terserah bagaimana Anda memahami sudut pandang itu, sobatku!

Kita semua sedang memikul dunia, ada yang tahu akan dibawa kemana, melibas apa saja didepannya, ada yang kebingungan, ada yang membongkar teori-teori filsafat usang berumur ribuan dan ratusan tahun, sebagian lagi clingak-clinguk nunggu komando, ada yang asyik-asyik saja memikul dunianya sambil bernyanyi-nyanyi... Anda dan saya, misalnya.
Anda bernyanyi, saya ´hadir´ meng-´ada´ dalam melody dan liriknya... To hell dengan semua filsafat usang itu!

Dunia ini memang luar biasa, begitu banyak teori dan petuah, tetapi layakkah kita mengukur ´kebenaran´ dengan untaian petuah yang diulang-ulang, hanya karena kita tidak berada dalam ´lingkar masalah´ tersebut? Misalkan- ada orang yang mengalami kesulitan ´kecil´ -menurut sebagian orang- tapi apakah yang mengalaminya itu sendiri, masalah tersebut adalah masalah ´kecil´, juga?

Duit seribu perak, saya pernah merasakan bisa makan selama tiga hari! Seribu perak tentu jumlah kecil bagi sebagian besar orang, bukan?

Tidaklah perlu kita mengukur ´kebenaran´ jika belum pernah melaluinya... Bagi orang sukses karena turunan, apakah layak mengatakan bahwa ´kehilangan harta´ itu hanya masalah merubah sudut pandang dari kehilangan menjadi mensukuri yang telah ada? Layakkah dia berkata demikian kepada -katakanlah- anak-anak jalanan, atau -setidaknya- ´mantan´ orang kere? Talk is cheap... Lets sing instead, thats why I like your style, wahai orang asing!

I through the clouds I see love shine It keeps me warm as life grows colder

Tafsir: Kutembus awan, kulihat cinta bersinar... Menghangatkanku kala hidupku berselimutkan dingin...

Yah, Aku tahu... Melihat pemandangan dari atas gunung berkabut, sepertinya kita sedang terbang dengan menggunakan karpet putih: Awan! Menakjubkan... Apalagi berjalan mendaki dengan kekasih sambil tangan kita saling melingkar, membagi kehangatan. Bagaimana jika yang Anda daki adalah Rocky Mountain yang cuacanya brutal itu? Cobalah, sekali-kali, setelah itu katakan pada saya, apakah masih takut akan dingin?

Di sini, aku tak pernah takut dingin, bung. Bahkan suatu ketika saya menunjukkan ketahanan fisik saya, dengan membuka baju ditengah hujan salju, lebat, dengan suhu -waktu itu- minus dua belas. Nanti saya postingkan photonya, ya? Semuanya, dingin, panas ada dalam fikiran kita saja. Huh! dengan pemanasan global itu, tahun kemarin (2006) tak ada seharipun turun salju, saya merasa kehilangan! Sehingga dalam satu forum saya pernah menulis, ´Snow, is part of our history?´.

In my life there's been heartache and pain
I don't know if I can face it again
Can't stop now, I've travelled so far To change this lonely life

Tafsir: Dalam hidupku aku telah penuh dengan luka dan perih... Tidak tahu, bisakah aku menghadapi (luka & perih) itu lagi... Tak bisa berhenti sekarang... Aku telah berjalan sejauh ini... Untuk mengubah hidup yang sepi ini...

Luka dan perih, tidak akan lepas dari pada ´asaz-asaz Kopitalistik´ di atas, yakni: It´s about ´feelings´ & ´standards´. Telah demikian banyak petuah, teori dan ajaran untuk mengakali dan mengatasi keterikatan dalam ´Asaz Kopitalistic´ atau katakanlah ´Asaz PatanYalian´, di atas itu.
Tetapi, seperti kita sepakati sebelumnya, kita memikul dunia kita sambil bernyanyi dan bersiul, bukan?

Ketika Krismon melanda Negriku, aku juga terluka dan perih, bangkrut, terasing, tersudut sendirian! Itulah duniaku saat itu, dan... DAN?...


I don't know if I can face it again

Tafsir: Tidak tahu, bisakah aku menghadapi (luka & perih) itu lagi...

Hey! -seperti lagu Avalon- I Survive! Juga -seperti lagu Aretha Franklin- I Will Survive! Kayak judul lagu, bukan?

Latihan tertinggi yang jauh lebih tinggi dari segala macam training bernilai jutaan rupiah dalam seminar-seminar itu, adalah Pengalaman! Pengalamanlah yang lebih tinggi nilainya dari segala macam teori, petuah, filsafat dan semua ajaran-ajaran kuno dan antik itu, bung! So, kata Dire Strait, ˝Why Worry˝?

Can't stop now, I've travelled so far To change this lonely life





Tafsir: Tak bisa berhenti sekarang... Aku telah berjalan sejauh ini... Untuk mengubah hidup yang sepi ini...





Yo, wis to Mas? Yuk jalan aja... Aku juga telah jauh berjalan, dengan jarak setengah lingkaran bumi dan hampir satu lingkaran penuh, my life is not ´lonely´ anymore, my dear friend. Hidupku tak lagi sepi...





Sejujurnya, lebih ´lonely´ rasanya, waktu nggak kemana-mana! Meringkuk dalam ´tempurung´ bernama ´Indonesia´, apalagi sambil -terpaksa- mendengarkan riuh rendah kotek-kotek orang-orang (padahal mereka bukan ayam, lho) membicarakan -atau tepatnya- menghibur diri sambil mengatas namakan ´Tuhan´, ´Surga´, dengan pernik-perniknya demi mengatasi keterasingannya sendiri di dunia ini... Ya... Berjalanlah! Keluarlah dari tempurung itu! Saya memang tak pernah takut, wong nenek moyang saya dulunya memang adalah petarung samudra yang tangguh!





I wanna know what love is
I want you to show me
I wanna feel what love is
I know you can show me

Tafsir: Aku ingin tahu apa itu ´cinta´... Kuingin kau menunjukkannya... Aku ingin rasakan apa itu ´cinta´... Kutahu kamu bisa menunjukkannya...





Nah, nih dia nih, intinya sampe juga... Apa itu ´Cinta´?... Definisi ´cinta´ hingga saat ini belum ada ratifikasi oleh Negara-negara anggota United Nation... Meskipun begitu, demi menghormati Anda sebagai sesama ´Traveler´, saya akan coba mengulasnya...





(Bersambung)





May FUN be with you...





PatanYali

Kumaniora: Love (Proyeksi)

10 (sepuluh) hari setelah terbitnya ´Kumaniora: Love´ di atas, di kolom ´Proyeksi´ ini kami tampilkan postingan artikel yang belakangan terbit melalui media cetak.

´Grounding´ dari kolom ´Proyeksi´ ini adalah sesuai dengan ´Kopitalistic Verses´: Say it with songs. (SeksPeare)

Proyeksi 01:
Mereka Mencatat Kehidupan dalam Lagu
FRANS SARTONO
Lagu pop yang kadang dianggap "cengeng" itu diam-diam merupakan rekaman drama kehidupan. Penggubah lagu dari masa ke masa mencatat lakon manusia di sekitarnya. Lagu-lagu itu menjadi hiburan, nyanyian kehidupan. (Sumber: Kompas, 15 April 2007)

Komentar PatanYali:
Komentar 1:
Salah satu Kopitalistic Verses: ´Say it with songs´ adalah sejenis ´virus of mind´ yang juga sementara ditularkan melalui blog ´Kumaniora´ ini. Penulis artikel di atas, nampaknya ´tertular´ oleh ´virus´ tersebut.

Komentar2:
Apakah Penulis artikel (Frans Sartono) di atas juga sanggup mendeklarasikan apa yang diungkapkan oleh PatanYali ˝My Life is -simply- sounds like a melody´? Dan mendaur ulang lagu-lagu ´cengeng´ ke dalam dimensi yang ´lain´?

Selain -membaca isi artikel tersebut- isinya hanya bertukar kata dan mengelus rasa?...