Monday, January 21, 2008

WE ARE -CONTINOUSLY- TRAVELING ´VIRUS´ (Re-Thinking of Human)



WE ARE -CONTINOUSLY- TRAVELING ´VIRUS´ (Re-Thinking of Human)

Sebenarnya tulisan ini saya maksudkan sebagai -semacam- dialog dengan ´Happy Samurai´. Tapi waktu itu tidak langsung saya posting, karena saya lupa dimana file ini tersimpan...:-(

Dalam thread tersebut saya menemukan pertanyaan yang sebenarnya sederhana. Tetapi saya tertarik untuk mendriblenya menjadi sebuah perspektif, karena pertanyaan ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Sehingga judul thread ini saya buat sedemikian rupa seperti di atas: We are -Continously-Traveling ´Virus´ (Re-Thinking of ˝Human˝)

Pertanyaan itu adalah: Apa yang 'menggerakkan' sehingga tulisan itu bisa terbentuk?

http://tech.groups.yahoo.com/group/blogger_makassar/message/17644

:DHehehe, ikutka juga deh. Sy suka thread-Na :pMenulis, mmng hak semua kita. entah makna apa yang ada di dalamnya, kembali ke 'visi' atau 'paham' yang 'coba diikuti' oleh si penulis. tidak ada yang salah memang. Dari yang 'seenak gue' sampe yang mengikuti kaidah 'jurnalisme sejati' [Adakah?, saya juga tidak tahu bela :p]

Kumaniora: Nggak tau saya soal apa itu ´jurnalisme sejati´:-). Saya yang hobby memutar balik kata, cukup happy menyebut style yang saya labeli sebagai ˝JurnaLipstick˝... Hehehe...

Tapi, kalau kita kaitkan dengan kritikan sohib-sohib dari Panyingkul, atau katakanlah debat, diskusi, (whatever) antara ´keseblasan´ AM dan ´keseblasan´ Panyingkul, saya meyikapinya sebagai sebuah kegelisahan dari sohib-sohib Jurnalist yg melihat bagaimana aktifitas Blogging adalah fenomena yg sesungguhnya punya potensi besar untuk mengisi peran-peran sosial-kemasyarakatan, dan sekaligus menjadi media alternatif dari media mainstream yg ada.

Sejujurnya saya tidak tertarik dalam debat tersebut, mengingat hampir semua interest saya ingredientnya memang berupa racikan-racikan dalam wajan sosio-kultural, bahkan spiritual & psikologikal, dengan dimensi global-nasional-lokal. Baik melalui maling list maupun blog. Meskipun penyajian tulisannya tidak mengikuti kaidah jurnalipstik
... Eh, maksud saya, jurnalistik:)

Vocal point saya adalah sampai tidaknya pesan atau ide saya pada pembaca (yg tertarik, tentu saja) untuk mereka olah sendiri, tulis sendiri, tanpa harus menelannya mentah-mentah seperti layaknya sebuah dogma. Karena itu pula, saya tetap memilih untuk berada pada level state of art. Menyebar ´virus of mind´. Dan cukup senang dengan feed back yang saya terima dari sahabat-sahabat Pembaca.

Bukan pula saya mengatakan bahwa kaidah jurnalitik itu tidak perlu. Sebaliknya, hal itu sangat sangat perlu. Tapi oleh karena saya mengedepankan ´idea´ maka saya menggunakan metode ´cut and fill´ (istilah dalam landscaping dan land clearing) dalam menyikapi hal tersebut.

Adapun penggunaan term ´narsisme´ menjadi bumbu dalam suatu kritikan. Mau diapa lagi? Lha pada umumnya kita -saya juga termasuk- memang narsis? Apakah ada yang luput dari ´penyakit´ narsisme ini?

Jadi, kalaupun ada yang perlu kita tunjuk hidungnya gara-gara kebiasaan memvonis melalui term-term tertentu, cari saja darimana term tersebut diproduksi dan diperkenalkan kepada publik. Dan siapa-siapa, apa apa saja yg berperan dalam penyebaran term tersebut kepada khalayak. Terkhusus pada term ´narsisme´ maka ´hidung yg perlu ditunjuk´ adalah psikologi dan media mainstream.

Dengan demikian jika ada –siapapun- diluar dari psikologi dan media mainstream menggunakan term tersebut sebagai semacam vonis dalam rangka kritik, si Pengkritik tersebut, hanyalah ´victim´ akibat ter-memetized (katakanlah gitchu) oleh yg memproduksi dan menyebarkan, terminologi itu.

Demikianlah kita hidup dalam dunia persepsi yang kurang –atau tidak?- mampu membedakan antara kritik dan vonis.


Happy Samurai: Tapi [ini secara pribadi fren :D] saya selalu 'penasaran' dengan 'kandungan nilai' sebuah tulisan, atau apa yang 'menggerakkan' sehingga tulisan itu bisa terbentuk. Ndy bilang, menulislah sebab tanpa menulis takkan terbentuk sebentuk tulisan [ini konek-Na di mana?]

Kumaniora: Rasa penasaran akan sesuatu itu bagus, setidaknya sebagai ciri awal bahwa seseorang itu ´Born to Quest´ (ini pernah didiskusikan panjang lebar di milis Apakabar)
´Born to Quest´ adalah orang yang terlahir dengan karakter yg terus-menerus ´bertanya´ ini berkaitan dengan mental statenya.

Tena nia antu mae nikanayya ´out put´ (tak ada itu, apa yg disebut sebagai out put) Semua ´out put´ adalah tak lebih berupa ´proses´ belaka. (Oleh Hegel, dipetakan menjadi thesis-anti thesis-sintesis, lalu berputar lagi seterusnya.)

Out of Taufik: Dengan demikian, saya melihatnya bahwa Sociology, atau semua ilmu yg berbicara tentang manusia, adalah hal yang sesungguhnya ´abstrak´ sehingga tidak tepat atau keliru menempatkan term ´logy´ berdampingan dengan term ´socio´.
Ilmu-Ilmu Sosial –seperti sesungguhnya Filsafat dan Psikologi- sudah waktunya untuk masuk dalam fase ´Art´. Back to ´Mama´... :-)D

Kopitalisme, is the travel agent of your tour to the edge of the Sociology...

Bahkan, secara ´ekstrim´ beberapa waktu lalu saya mendefinisikan manusia adalah ´virus´. Tentu dapat saya mengerti, bagi yang memahami term ´virus´ hanya ke dalam makna dan konotasi ´negatif´ saja, mereka akan sangat mungkin melongo.
´Teori´ ini, juga termasuk menggelisahkan seorang sohib Psikolog, dengan mengatakan saya ´mengocok ulang´ yang mereka fahami apa itu ´manusia´. Namun sohib-sohib ˝sepadepokan˝ yang jumlahnya ribuan di milis tersebut, tidak atau belum punya argumen membantah bangunan teori bahwa manusia adalah ´the –continously- traveling virus´.

Setiap kita -siapapun itu- berusaha me-multiply –seperti- virus, menjangkitkan virus tersebut berbentuk ide (virus of mind) kedalam dan melalui berbagai bentuk metode. Metode yang saya maksud adalah, termasuk MENULIS!
Sebagai sebuah ´eksperiment´ mengenai ´Virus kata´ (lebih dari sekedar kata) atas term ´Kopitalisme´ bisa dilacak penyebarannya
di sini

Back to Taufik: Sementara ada pula yang terlahir dengan karakter yg sekedar mencari ´jawaban´. Dan ketika seseorang merasa telah mendapatkan ´jawaban´ orang tersebut lalu merasakan telah mendapatkan comfort zone-nya disitu, bercokol disitu, bertahan disitu, membentuk tempurung psikologisnya sedemikian rupa sehingga tidak merasa perlu -atau bahkan takut- bersentuhan dengan perubahan-perubahan, lingkungan baru, faham-faham yg berbeda dan perspektif-perspektif yang berlain-lainan. Dan ini berkaitan dengan ´paradigma´, beliefe system, faith, kultur, dst.

Penilaian-penilaian yang dibuatnya –atas lingkungan sekitar- selalu berdasarkan, groundingnya saja, profesinya saja, statusnya saja, paradigmanya saja. Berdasarkan feelings dan standards-nya saja.

Dengan kondisi mind & mental state demikian, tetap ada semacam ´desakan´ untuk ´menularkan´ kepada ´yang lain´ bahwa apa yang dianggapnya baik, itulah yang TER-baik: read me, hear me, listen to me, look at me, follow me. (Follow Me, menjadi brand yang digunakan sekelompok sohib-sohib muda di Kroasia sebagai metode informasi dan promosi tourism.)

Salah satu fakta dalam menggunakan pemahaman bahwa ´human is a –continously- traveling virus´ dapat dilihat dari fenomena bahwa manusia akan tetap ber-multiply. Baik pada level state of mind (ide, gagasan, dll) ajaran, isme-isme (baik berdasarkan faham religious maupun isme berdasarkan faham sekular) Dan ber-multiply hingga pada level fisik (beranak pinak, bergenerasi)

Nature dasar virus adalah multiply. Virus tak membutuhkan makanan, seperti species lainnya. Sehingga virus adalah satu-satunya species di bumi yg fungsinya hanyalah ber-multiply. Nah, jika rekan-rekan menjadi member ´Multiply dot com, ingatlah teori saya ini: Human is a –continously- traveling virus. There are some choices, tho: you can enjoy your selves or you can laughing to your selves. I am ´in´ at the both choices.

Bukan maksud saya memetakan bahwa manusia itu hanya terbagi dua karakter saja ( Born to Quest dan Born for the Answer(s) Ada yg mengulasnya ke fase Born to Pray.) Tapi maksud saya, adalah kita ambil dulu dua model karakteristik itu hanya contoh, sebagai pijakan menjawab tentang pertanyaan ´... apa yang 'menggerakkan' sehingga tulisan itu bisa terbentuk?´.

Dalam disiplin ilmu Biology ada term ´meme´. Yang jelas apa yang disebut ´meme´ ini, tak jauh dari formasi dan dimensi ´virus´.

Dimensi ´virus´ tak terbatas, dan juga melekat pada setiap ´kata´ yang kita baca, mempengaruhi cara kerja kedua hemisphere otak kita. Berperan membentuk pemaknaan, mempola persepsi pada kata itu. Prosesnya sesungguhnya dapat ditelusuri jika kita menggali masuk mendalami struktur DNA manusia. Namun dalam perspektif Kopitalistik, cukup saya menyebutnya sebagai KutuKata.

A. Born for the Answer (s):
Sebenarnya disini sangat luas, bisa ditarik ke ranah spiritual, psikologis, individual, sosiologis, dll. Disini saya langsung potong ranah educational. Karena, apa yg kita tulis dan apa yang kita baca, disitu terjadi proses lalu lintas informasi. Baik, informasi tersebut berasal dari ´tangan pertama´ (alam) maupun ´tangan kesekian´ (guru/dosen/wartawan/jurnalist/kyai/ustadz/biksu/pendeta dan berbagai profesi, dll.).

Sekarang saya bertanya, mengapa seorang yg mendalami pelajaran ilmu-ilmu Filsafat di Indonesia, TIDAK -ATAU BELUM- PUNYA teori sendiri menjawab ´Siapa Aku´?

Asumsi saya, seseorang yang membaca teori-teori milik seorang –yang oleh sejarah atau media- namanya besar, maka ´meme´ ini akan sangat efektif membentuk pola pemahaman si Pembacanya (lalu diajarkan dgn pola menghafal nama-nama besar tsb, melalui institusi-institusi Pendidikan formal) Dan dengan demikian, si Pembaca tersebut (dalam hal ini, pemilik tangan kesekian) telah -dengan mudah- merasa memiliki ´jawaban´.

Sederhananya, mereka membaca dalam rangka ´mencari jawaban´ yang TELAH disediakan oleh Pemilik-Pemilik teori sebelumnya (dari tangan-tangan kesekian) lintas generasi.
Sehingga hampir semua pertanyaan ´Siapa Aku´ -yang seyogianya tidak pernah terhenti- telah tersedia dengan cara mengutip dari berbagai sumber-sumber yang sudah ada. Bahkan terkadang, sumber tersebut, telah mati sejak ratusan tahun lalu.

Apakah ini masalah psikologis? Mind & mental state? Kultur? Belum –atau mungkin tidak perlu- ada penelitian ilmiah, untuk menjawabnya.

B. Born to Quest:
Pernah saya menulis demikian: Fenomena (Alam/Lingkungan/Sosial Kemasyarakatan) --> Interpretasi --> Etika -- > Hukum...

Mangkanya, ketika seseorang –melalui blognya sbg diarinya- menuliskan apapun itu sesuai dengan perspektifnya sendiri, maka tidak perlu kita membatasi –atau bahkan menilai berupa vonis- bahwa tulisan-tulisan tersebut hanyalah ber-narsis ria. Karena setiap orang punya interest tersendiri dalam melihat lingkungan sekitar lalu men-sharenya kepada yg memiliki interest yang sama –atau setidaknya- mirip.

Dan karena terbaca oleh khalayak, maka apapun yang ditulisnya tidak akan sia-sia. Sebab akan sangat mungkin diantara Pembaca tersebut kemudian memformulasi ulang berdasarkan background dari si Pembaca itu sendiri. Disinilah virus of mind, itu menular dan menyebar. Dan selanjutnya terformulasi -dalam Kopitalisme- dipetakan ke dalam tiga garis besar. Dari ´Kebenaran Kreatif´ selanjutnya, bermuara kepada ´Kebenaran Saintifik´ dan ´Kebenaran Religius´. Dan berputar/berulang lagi seterusnya.

Jadi, ´Kebenaran-Kebenaran Kreatif´ yakni, ide/gagasan (berdasarkan pembacaan fenomena langsung) kepada para Pemilik ´tangan-tangan kesekian´ (guru/dosen/wartawan/jurnaalist/kyai/ustadz/biksu/pendeta dan berbagai profesi, dll) melalui berbagai institusi dan simbol-simbol, untuk selanjutnya ter/disebarkan lagi dalam bentuk teori-teori, text-text, dll.

Mungkin mirip dengan kutipan berikut:

Saya sederhana saja, bagi saya tulisan yang baik adalah yang 'lahir dari hati'. sehingga konek-na langsung ke hati juga. Kentara-Ji itu. kalo ada penulis yang 'nulis pake hati' [ini konotasi nah, soale kalo nulis kan biasanya pake tangan :D] pasti akan mengalir mempengaruhi pikiran dan perasaan pembacanya.

Kumaniora: Pertanyaan selanjutnya -mungkin- adalah ´What kind of virus we are?´...


May FUN be with you




Visit, the most funky ´religion´ ever built... HOLE SPIRIT...!!!